Sabtu, 30 Januari 2021

OKLIK


Oklik merupakan seni musik khas Bojonegoro yang berasal dari bambu yang dibunyikan dengan irama teratur sehingga membnentuk irama yang enak didengar. Oklik berasal dari desa Sobantoro kecamatan Balen.

Pola irama pada oklik terdiri atas 4 pukulan yaitu pukuklan arang (jarang) yang disebut dengan istilah tithil arang, pukulan kerep (padat/sesak) yang disebut dengan istilah tithil kerep, gedhug dan klur. Dan setiap bagian mempunyai fungsi berbeda meskipun instrumennya sama.

Hal itulah yang membuat kesenian musik oklik berbeda dengan kesenian musik yang berasal dari daerah lain.

Sedangkan nyanyian yang di sampaikan dengan alat musik oklik tersebut bertemakan sesuai dengan woro-woro atau lebih tepatnya berkaitan dengan lingkungan hidup. 

Didalam kesenian oklik juga menyajikan drama dan tari, yang menceritakan kehidupan sehari hari, disertai pesan pesan social, yang dituangkan dalam syair lagu.

Syair yang biasa dinyanyikan dalam kesenian oklik daintaranya adalah:

Lha kae wong budal rondha
Kenthongane pada digawa
Dihtuthuk karo mubeng desa
Supaya aman saka bebabaya

Padhange lampu lilin
Mobat mabit keterak angin
Ora gampang dadi pemimpin
Mikiro rakyat sing miskin.
sososo sososososo

Kesenian oklik biasanya dimainkan oleh empat hingga enam orang. Kesenian oklik ini memberikan pesan tentang pentingnya kebersamaan atau gotong royong.

OKLIK.
Konon Oklik tercipta tahun 1943 di Sobontoro. Kala itu terjadi pageblug wabah penyakit ( sekarang disebut pancdemi?) masyarakat kala iytu percaya pageblug itu  ulah makluk halus. Karena dahyatnya penyakit, ada yang menyebut "sore lara esuk mati, esuk lara sore mati." 
Kemudian orang laki-laki pada malam hari keluar rumah dengan membawa kenthongan dari bambu, dipukul dengan melantunkan lagu-lagu pujian. Suwaranya 'Thung klik, Thung klik, Thung klik...." sehingga disebut Oklik.
Tahun 1945 Rustamaji warga desa Sobontyoro mengembangkan Oklik menjadi sebuah kesenian. Tahun 1948 sepeninggal Rustamaji diteruskan Sukijan dan Sumijan.Tahun 1954-96o masa keemasan seni oklik. Disamping yang menabuh thonthongan bambu, sebagian yang keliling desa membawa oncor yang kemudian disebut mrutu sewu.
Tahun 1967  Oklik  sempat dilarang karena dianggap bebau Lekra. Seiiring dengan tumbangnya Orba, seni Oklik bangkit kembali dengan perkembangannya.

Dikutip dari beberapa sumber dengan perubahan seperlunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar