Kamis, 02 Mei 2019

Keluarga yang Aneh

Keluarga yang Aneh
Rabu pagi.  Mumpung libur, kami sempatkan mengunjungi cucu ponakan di Rungkut. Bayi mungil itu dipanggil KENES.  Anak dari Titis dan Ro'uf. Cucu dari Mas Dudun dan Mbak Nur, kakak suami saya.

Pada umumnya.  Kalau kita berkunjung ke rumah keluarga.  Lalu disuguhi aneka hidangan dan makanan, pasti sangat senang.
Namun tidak demikian kami. Saya, suami, Lik Wiji dan Anik.  Hari ini kita sangat bahagia, karena tuan rumah tidak menyuguhi kami makan siang.

Loh, tidak disuguhi makan kok senang?
Iya lah, kan kami bisa mampir ke Blauran.  Menikmati lontong balap legendaris buatan Pak Gendhut.

Nah, kami memang keluarga yang aneh bukan?  Tak apalah, yang penting makan Lontong Balap.

Ah, kan di Bojonegoro juga ada.  Tepatnya di depan RSUD lama. Kami juga seribg makan di situ.  Sebagai pengobat rasa kangen saja.  Tapi rasanya pastinya sangat berbeda.  Rasa apa suasananya ya yang berbeda?  Entahlah.

Emi Sudarwati
Blauran, 1 Mei 2019

Istirahat Menjadi Berkah

Istirahat Menjadi Berkah
Perjalanan dari Surabaya ke Baureno-Bojonegoro sebenarnya tidak terlalu jauh.  Tapi bagi seorang pegawai seperti suami saya, lumayan juga.

Rasa lelah yang mendera, tidak tertahan lagi.  Perjalanan baru mencapai sepertiganya saja, namun kantuk sudah datang menghadang.  Akhirnya kami putuskan belok ke Masjid KH. Ahmad Dahlan Gresik.  Posisinya yang strategis menggoda kami untuk datang.

Di sebalah kiri masjid, tersedia beberapa kapling tempat peristirahatan yang sangat nyaman.  Suami saya langsung memilih tempat yang paling sepi. Jauh dari kerumunan muda-mudi yang sedang berdiskusi.  Ya, sepertinya mereka adalah mahasiswa-mahasiswi semester akhir yang sedang mengerjakan skripsi. 

Belum sampai lima menit.  Suara dengkuran sudah mengusik telinga saya.  Rupanya beliau sudah tertidur pulas.  Semoga lelahmu hari ini bernilai ibadah.  Juga istirahatmu menjadi berkah.  Itu doa yang tersemat dalam hati.

Sebelum pulang, saya melihat di kapling sebelah ada kotak nasi kosong.  Rupanya orang yang barusan makan di situ tidak mau membuang bungkusnya.  Padahal pas di depan ruangan tersebut ada tempat sampah berwarna hijau. 

Sunggu keterlaluan, pikir saya.  Sudah dibuatkan tempat istirahat yang nyaman dan gratis, tapi malah dikotori.  Akhirnya saya ambil kotak nasi kotor itu sebelum beranjak.  Lalu membuangnya di tempat sampah. Kemudian meninggalkan tempat itu, dan kembali melanjutkan perjalanan.

Tidak langsung pulang ke Baureno, melainkan mampir dulu ke Karang Cangkring.  Mengantarkan Lik Wiji dan Anik, yang tinggal di desa kelahiran saya.  Namun terlebih dahulu, mampir ke toko buah di dekat terminal.  Karena Prilla, Eriansyah dan Eriza memesan oleh-oleh.

Emi Sudarwati
Gresik, 1 Mei 2019

Jumat, 15 Maret 2019

Titip Rindu Kepada Secangkir Kopi

Titip Rindu Kepada Secangkir Kopi Putih
Oleh: Emi Sudarwati

Hanya kepadamu kutitipkan rindu
Hampir tiga tahun tiada bertemu
Bahagia pada Gusti kau dipangku
Senyum pait madu tlah membiru
Kini semakin beku

Kepada secangkir kopi pitih ini
kutitipkan rindu di tengah malam sepi
pada wanita yang telah mengajari
minum kopi sejak dini
karena aku harus mandiri
sejak anak-anak itu masih disusui
aku harus berjuang demi meraih mimpi.

Baru kini kusadari
setalah kau jauh pergi
menghadap Ilahi
tersenyum direngkuh ibu pertiwi.

Ibu....
dalam sendiri kutulis puisi untukmu
berteman secangkir kopi putih membatu
semoga tersampaikan doa suci berdebu
dari hamba yang tak banyak tahu
hati memohon pengampunanMu
agar kelak bisa bertemu
dalam surgaMu.

Bojonegoro, 26 Februari 2019
Emi Sudarwati/ 00056