Sabtu, 23 April 2022

Tentang ISBN

SALAM INSAF, SEKALI LAGI TENTANG ISBN

---

Kamis, 14 April 2022, saya memenuhi undangan diskusi ISBN di Perpusnas RI (Jalan Salemba). Ada sedikit "oleh-oleh" informasi untuk lebih memahami tentang ISBN.

Jadi, jika beberapa waktu kemarin ISBN sempat tertunda, ternyata Perpusnas RI sebagai agensi ISBN internasional di Indonesia mendapatkan teguran dari Badan ISBN internasional. Teguran diikuti dengan instruksi penundaan sementara pemberian ISBN dari Badan ISBN internasional yang berpusat di London, Inggris.

Mengapa hal tersebut terjadi?

KETIDAKWAJARAN PRODUKSI BUKU INDONESIA

Produksi judul buku di Indonesia dianggap tidak wajar dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2020 saat pandemi mulai melanda, buku yang diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan tahun 2021 mencapai 63.398 judul.

Perlu diketahui Indonesia mendapatkan nomor khas blok ISBN adalah 978-623 dengan jatah ISBN sebanyak 1 juta ISBN. Diperkirakan nomor itu akan habis dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun. Beberapa negara menghabiskan angka 1 juta itu lebih dari 15 tahun, bahkan 20 tahun.

Alokasi 1 juta nomor itu diberikan kepada Indonesia terakhir tahun 2018, tetapi tahun 2022 pemberian ISBN sudah membengkak lebih dari 50% mencapai 623.000 judul. 

Bayangkan hanya tersisa 377.000 nomor lagi. Jika rata-rata Indonesia menerbitkan 67.340 judul buku per tahun (sebagaimana data Perpusnas RI, 2021), nomor itu akan tersisa sekira untuk enam tahun lagi.

Produksi judul buku yang sangat produktif ini memang seperti menyiratkan kemajuan literasi kita. Namun, sekali lagi jumlah besar itu tidak menyuratkan mutu buku. Jumlah besar itu juga berbanding terbalik dengan pendapatan penerbit yang pertumbuhannya terus menurun berdasarkan data Ikapi.

Sebagai fakta, di negara-negara maju saat pandemi Covid-19, penjualan buku (baik cetak maupun elektronik) meningkat drastis. Orang memborong buku untuk kegiatan di rumah. Namun, kondisi itu tidak terjadi di Indonesia. Penjualan buku terjun bebas nyaris ke titik nadir.

PUBLIKASI YANG RELEVAN DIBERI ISBN

Lonjakan pengajuan ISBN tersebut ditengarai juga akibat banyaknya publikasi yang tidak patut diberi ISBN, dimintakan ISBN-nya, termasuk oleh lembaga negara. Di sini kita perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut buku.

Tidak semua publikasi dalam bentuk buku relevan atau layak diberi ISBN, apalagi publikasi yang bukan termasuk buku. Buku merupakan media massa dengan sifat publikasi tidak berkala (tidak secara periodik diterbitkan).

Buku yang relevan diberi ISBN adalah buku yang berada pada rantai pasok industri buku. Ciri ini dapat disederhanakan sebagai berikut.

1. Buku tersedia untuk publik secara luas dan dapat diakses, baik secara gratis maupun berbayar.

2. Buku diperjualbelikan dalam jumlah yang banyak. UNESCO pernah membuat batasan minimal 50 eksemplar.

Karena itu, ISBN relevan digunakan sebagai basis metadata untuk memperlancar rantai pasok penerbitan buku. Ia berguna di hilir industri buku untuk mengidentifikasi buku, terutama distribusi dan penjualan.

Publikasi dalam bentuk laporan tahunan, laporan kegiatan, dan publikasi lainnya yang bersifat selingkung (terbatas) serta tidak tersedia untuk diakses publik, apalagi tidak diperjualbelikan maka tidak relevan diberi ISBN.

Demikian pula buku-buku yang terbit sekadar menggugurkan kewajiban untuk penilaian angka kredit/kenaikan pangkat. Buku-buku itu sering kali dicetak hanya beberapa eksemplar. Tentu buku seperti ini tidak relevan diberi ISBN.

Mari insaf bersama untuk tidak meng-ISBN-kan semua publikasi dan tidak meng-ISBN-kan semua buku. Buku tidak ber-ISBN bukan berarti tidak sah sebagai buku.

DI INDONESIA SEMUA DI-ISBN-KAN 

Ada kecenderungan individu atau organisasi meng-ISBN-kan semua publikasi yang diterbitkan. Berikut ini contohnya.

Ringkasan kebijakan (policy brief) dibukukan dan di-ISBN-kan. Laporan KKN mahasiswa di-ISBN-kan. Laporan kegiatan di-ISBN-kan. Skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi di-ISBN-kan. Orasi ilmiah di-ISBN-kan tanpa konversi. Prosiding di-ISBN-kan tanpa melihat apakah seminarnya berkala atau tidak.

Beberapa sekolah membuat kegiatan literasi untuk siswanya. Siswa didorong menulis cerita atau puisi lalu dikumpulkan dalam bentuk antologi. Buku antologi itu dicetak terbatas sejumlah siswa dan sisa beberapa eksemplar untuk dokumentasi sekolah. Buku semacam ini tidak relevan diberi ISBN. Toh, untuk apa ISBN itu bagi sekolah?

Demam ISBN ini tampaknya didorong oleh persepsi keliru bahwa buku yang ber-ISBN- lebih keren karena mendapat pengakuan internasional. Buku ber-ISBN lebih afdol sebagai buku yang profesional. Buku ber-ISBN menunjukkan pemenuhan standar mutu. Padahal, tidak ada hubungan sama sekali.

Memang ada kebijakan mutu pemberian ISBN seperti dilakukan oleh Council of Europe. Lembaga ini memberlakukan kebijakan tentang pemberian ISBN untuk publikasinya. Mereka menetapkan buku ber-ISBN harus memenuhi standar mutu dari Council of Europe. 

Demikian pula yang pernah diberlakukan oleh LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN) ketika ada peneliti yang meminta ISBN. LIPI Press bukan pemberi ISBN. Jika buku hendak diterbitkan oleh LIPI Press atau menggunakan ISBN LIPI Press, buku harus memenuhi standar mutu LIPI Press. Colek Fadly Suhendra.

Demam ISBN ini terutama melanda perguruan tinggi dengan membuat aturan publikasi harus ber-ISBN meskipun publikasi itu bersifat internal atau terbatas. Sungguh terlalu, tidak relevan.

Publikasi berupa bahan ajar berbentuk buku yang hanya digunakan terbatas di lingkungan kampus tersebut, apalagi memang tidak diperjualbelikan secara bebas, tidak relevan menggunakan ISBN.

BEBERAPA SOLUSI

Diskusi ISBN ini menarik sebagai salah satu permasalahan publikasi di Indonesia yang kerap juga dikait-kaitkan dengan literasi. Kini, Perpusnas RI masih "menahan" sekira 5.000 pengajuan ISBN. Penundaan ini dilakukan karena beberapa hal yang mencuat dalam diskusi.

Eksistensi penerbit memang dipertanyakan. Apakah yang mengajukan ini benar-benar penerbit atau bukan? 

Salah satu jalan yang sedang disiapkan oleh Pusat Perbukuan adalah akreditasi penerbit.  Ini mungkin solusi ke depan bagi Perpusnas untuk menyeleksi penerbit pengaju ISBN hanya penerbit yang terakreditasi.

Salah satu sifat manusia Indonesia itu memang kreatif. Syarat sebuah penerbit, seperti menjadi anggota asosiasi dan melampirkan legalitas usaha, mudah untuk diakali. Namun, sebenarnya sang penerbit sama sekali tidak punya roh sebagai penerbit buku. Ini banyak terjadi.

Jika dikaitkan dengan mutu dan profesionalitas, muncul gagasan apakah perlu pengaju ISBN dari sisi penulis dan editor menyertakan sertifikat kompetensi? Ini masih sebatas wacana dan salah satu cara menyeleksi pengaju ISBN.

PENGINSAFAN MASSAL

Penginsafan massal memang diperlukan bukan hanya soal ISBN, melainkan juga soal lain sebagai fundamental penerbitan buku. Kalau kata Kang Arys Hilman, Ketum Ikapi, saya ini ibarat penjaga hulu penerbitan. 

Hulu penerbitan itu seperti ISBN ini dan persoalan mutu buku, termasuk yang tampak "remeh temeh" seperti anatomi buku. Pak BT memang sibuk mengurusi perbedaan 'kata pengantar' dan 'prakata'. Hehehe itu sebagian hobi saya. Biarlah hulu ini ada yang memikirkannya.

Banyak hari saya kini dihabiskan untuk menyusun regulasi dan pedoman di Pusat Perbukuan, pun di Badan Bahasa. Lalu, kini saya sedikit terlibat di Perpusnas.

Betul bahwa persoalan di hilir juga penting yakni bagaimana buku terjual dan penerbit dapat memperpanjang napasnya. Saya memaklumi "shifting" yang dilakukan penerbit pada saat disrupsi.

Pendapatan penerbit tradisonal utama adalah dari penjualan buku, termasuk penjualan dalam proyek pemerintah. Begitu terjadi disrupsi, penerbit mulai beralih pada penjualan konten (di luar buku). Lalu, terjadi lagi disrupsi, penerbit beralih pada model bisnis jasa penerbitan (penerbitan berbayar alias vanity publishing).

Hari-hari saya sekira satu dekade lalu banyak dihabiskan di hilir penerbitan. Saya merasakan aura dinamis penjualan dan pameran buku sejak tahun 1990-an. Berjibaku dengan arus kas penerbitan, berjibaku dengan gagasan penerbitan, dan berjibaku dengan aktivitas pemasaran buku telah membentuk pengalaman kukuh tentang penerbitan buku.

Sekali-sekali saya merasa bangga dapat melahirkan buku-buku yang layak dilabeli best seller nasional. Buku The True Power of Water, Setengah Isi Setengah Kosong, Api Sejarah merupakan beberapa buku yang lekat dalam ingatan saya. Namun, hari-hari itu kini saya tinggalkan.

Ilmu ini tidak dapat diperoleh di pendidikan formal. Ilmu ini lebih banyak berupa 'tacit knowledge' yang justru jarang dituliskan di buku-buku. Penelitian terhadap penerbitan buku sendiri sangat minim di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu. 

Mengapa saya masih bertahan mengajar di Polimedia meskipun tertatih-tatih mengatur waktu? Bahkan, bersua dengan sebagian besar mahasiswa culun yang juga masih bingung mengapa mereka masuk Prodi Penerbitan. Jawabannya karena lewat mengajar paling tidak saya dapat menurunkan ilmu kanuragan penerbitan ke 1-2 orang mahasiswa. Mengajar membuat saya belajar lagi.

Saya insaf, dunia saya kini memang ada di hulu penerbitan buku di sisa usia yang insyaallah masih dapat berkontribusi. Jadi, mari insaf berjemaah.

Kamis, 21 April 2022

ADZAN YANG SUMBANG

ADZAN YANG SUMBANG
Alkisah, ada seorang muadzin yang bersuara jelek. Ia tinggal di negeri yang mayoritas beragama Nasrani. Sebenarnya telah banyak orang yang mengingatkannya agar tak mengumandangkan adzan, mengingat suaranya yang jelek itu. Tetapi tak dihiraukan cegahan tersebut. Ia tetap mengumandangkan adzan dengan suaranya yang buruk tersebut.

Hingga suatu ketika, datanglah seorang pendeta kepadanya. Pendeta itu menganugerahkan berbagai hadiah kepada sang muadzin sebagai ungkapan rasa terima kasihnya yang mendalam. Didorong oleh rasa penasaran, bertanyalah seorang muslim pada sang pendeta: ”Wahai pendeta, kiranya apakah yang menjadi sebab engkau memberi banyak hadiah kepada muadzin itu?”

Pendeta itu bercerita: ” Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak wanita yang jelita. Dan ia sangat kusayangi. Tapi apa lacur ia jatuh cinta kepada seorang pria muslim yang sholih. Aku mengkhawatirkan dirinya suatu saat akan meninggalkan diriku dan agamanya.

Hingga suatu masa di pagi buta, putriku terbangun oleh suatu suara. Ia merasa terganggu dengan suara itu. Ia terbangun seraya bertanya: ” Ayah suara jelek apakah itu?”. Aku menjwab: ” Itu suara azan yakni panggilan Islam untuk shalat. Putriku hampir tak mempercayainya, bagaimana ajaran agama kekasihnya mempunyai panggilan untuk shalat sejelek itu. Semenjak itu putriku menjauhi kekasihnya dan juga Islam. Dan sebagai rasa terima kasihku, aku sengaja memberi sang muadzin berbagai hadiah.

Kita dapat menemui cerita di atas dalam kitab “Al-Matsnawi”. Jalaludin Rumi, sang pengarang, menampar tokoh-tokoh agama yang selalu menampakkan wajah agama dalam bentuk kekerasan dan permusuhan. Muadzin ialah parodi dari tokoh agama. Sedangkan adzan ialah agama yang hendak disampaikan olehnya. Bagaimana adzan yang mempunyai tujuan mulia dapat disalah artikan bila ia dikumandangkan oleh muadzin yang bersuara sumbang.

Sebaik apapun tujuan kita, apabila disampaikan dengan cara-cara yang kurang simpatik, elegan, dan menebar kesan permusuhan, maka sesuatu yang baik itu akan terlihat buruk. Persis seperti layaknya parodi Rumi di atas, dakwah atau syiar yang seharusnya mengajak seseorang kepada keimanan, namun takkala disampaikan dengan cara yang buruk, apalagi dengan kekerasan dan permusuhan, hanya akan menjauhkan seseorang dari agama. ๐Ÿ™

Apakah puasa kita sampai hari ini berhasil mengikat setan-setan yang bersemayam dalam diri kita? ๐Ÿ˜Š

Surabaya, 22 April 2022

Rabu, 20 April 2022

Berkarya di Jepang

Berkarya di Jepang
Karya: Emi Sudarwati
Tahun 2018
Tepat di bawah Talang Mas Saya pernah melantunkan doa
Sukses putraku
Dunia akhirat
Berpasrah kepada Tuhan
Pelukis alam 



Rabu, 13 April 2022

Konten YouTube Kisah Inspiratif Penyeru Kedamaian

Konten YouTube Kisah Inspiratif Penyeru Perdamaian
Karya: Emi Sudarwati

๐Ÿ’กPerempuan Indonesia Gabung Yuk๐Ÿ’ก

BNPT menyelenggarakan  kegiatan *”Pengumpulan Karya Tulis Kreatif”* dengan Tema “
*Bagaimana Perdamaian bisa Viral*
1. Menuliskan ide kreatif kamu
2. 32 Karya yang terpilih akan di tulis dan menjadi sebuah buku
3. Peluang memperoleh hadiah total *Rp. 68 Juta* dengan menuliskan *ide kreatif kamu bagaimana perdamaian bisa viral*.

☎️ Ida (081253893630)
      Nurul (081906663300)
๐Ÿ—ž @perempuantop

๐Ÿ“Ž Silahkan mendaftar dan mengirimkan hasil karya ke dalam Link dibawah ini
https://bit.ly/perempuantop2022  


Bagaimana perdamaian bisa menjadi viral?   
Pemvuralkan sebuah kebaikan tentulah tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi di era pembelajaran daring beberapa bulan yang lalu.  Kami para guru harus berjuang keras megembalikan ruh pendidikan pada fitrahnya.  Pendidikan bukan sekedar deretan angka-angka maupun rentetan teori.  Namun menanamkan karakter baik tentulah lebih utama.

Jumat, 08 April 2022

PGP 7

Perempuan dan Pendidikan: Implementasi Pemikiran Kartini

*Canty Nadya

https://suaraperempuanpesada.wordpress.com

“Jika anda mendidik seorang laki-laki berarti anda telah mendidik seorang person, tapi bila anda mendidik seorang perempuan berarti anda telah mendidik seluruh anggota keluarga.”

Pendidikan dan perempuan, kedua elemen yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Sistem pendidikan jika tak menyertakan perempuan maka itu bukan esensi pendidikan, karena pendidikan adalah bagimana menciptakan keadilan yang humanis. Karena dengan mengalienasi perempuan dari pendidikan, maka sama halnya dengan melanggengkan kebodohan untuk dominasi kekuasaan pada segelintir mahkluk.

Salah satu permasalahan yang dianggap paling berat untuk perempuan ialah rekognisi pendidikan untuk perempuan, realitas yang umum kita jumpai perempuan selalu dipandang sebelah mata. Karena pendidikan untuk perempuan tak diterapkan secara fundamental, hanya sebagai formalitas semata atau lebih parahnya jika pandangan bahwa pendidikan untuk perempuan seharusnya tak diberikan sama sekali, agar tunduk pada sistem dan semakin terkungkung dalam penindasan.

Pemikiran akan pentingnya pendidikan untuk perempuan tak hanya dilayangkan oleh para pemikir Barat saja, namun dalam konteks Indonesia, ada pemikir serta pegiat perempuan lokal yang memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan secara layak,dia adalah R.A. Kartini. Kartini menuangkan pemikirannya dalam surat-surat yang dikirimkan kepada J. H. Abendanon. Kumpulan surat pribadi Kartini tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1912 dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang­­). Kumpulan surat Kartini tersebut menjadi sebuah alternatif pemikiran tentang pendidikan perempuan. Sebagai sebuah kritik sosial pada realitas, bahwasanya perempuan juga perlu pendidikan. Salah satu pokok substansi pemikiran Kartini adalah Emansipasi atau upaya mewujudkan kesetaraan perempuan dalam mendapatkan pendidikan.[1]

Kedua pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai acuan tentang peran perempuan dalam hal pendidikan, bagaimana institusi pendidikan dan lingkungan memberikan hak kepada perempuan untuk memperoleh pendidikan dengan sepenuhnya tanpa ada intrik sosial. Perempuan jangan lagi mengalami ketertinggalan perihal pemikiran dan pengetahuan. Karena aspek pendidikan untuk perempuan berpengaruh pada segala bidang, bahkan jika seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, diperlukan pula pembekalan akan hal tersebut. Pendidikan bukan hanya milik perempuan yang memiliki akses ekonomi atau strata sosial menengah ke atas, melainkan dapat dinikmati oleh seluruh perempuan secara merata, itulah arti kesetaraan itu sendiri.

Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan

Perempuan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal pendidikan, bahkan pendidikan pertama yang diberikan kepada anak ialah dari seorang ibu. Ibu memiliki andil yang besar dalam melakukan pengembangan potensi anak. Bukan berati tugas mendidik hanya diberikan kepada ibu semata, ayah juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak, namun tidak seotentik seorang ibu. Karena ibu memiliki keterikatan batin yang kuat dengan anak. Ada sebuah pepatah yang mengatakan jika perempuan cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas pula. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan akan berpengaruh dalam pola pikir dalam berkeluarga, cara mendidika anak dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan di keluarga.

Kartini dapat dikatakan sebagai tokoh pembaru di bidang pendidikan perempuan, yang memiliki terobosan dalam mengajarkan pentingnya arti pendidikan bagi perempuan. Perjuangannya tersebut berhasil memberikan perubahan bagi perempuan menuju pemikiran yang lebih maju. Bahwa semestinya perempuan juga harus memiliki peranan penting dalam lingkungan sosial mereka.

Sukarno kemudian menafsirkan perempuan dalam sepenggal kalimat “Perempuan itu tiang negeri,”[2] dalam konteks kalimat dari Sukarno tersebut, maka seharusnya perempuan sadar akan posisinya untuk mencetak peradaban bangsa yang berkemajuan. Sedangkan alat untuk menjalankannya ialah pendidikan, jika perempuan mendapatkan pendidikan yang baik, maka jangan heran jika sebuah negara atau institusi di mana perempuan itu berpijak akan mengangkat martabat bangsa.

Pendidikan bukan hanya berkaitan soal mengasah akal dan tingkat intelektual saja, namun juga memperhatikan kepribadian. Kartini mengatakan jika pendidikan bukan hanya mempertajam akal, budi pekerti pun juga harus dipertinggi. Intinya ialah dalam menjalankan sistem pendidikan, tidak hanya mengutamakan tingkat kecerdasan semata, namun juga menanamkan budi pekerti pula. Jika hanya mengunggulkan sisi kecerdasan tanpa memperhatikan hal yang lain, maka yang terjadi ialah rasa superioritas dan rendahnya sikap kemanusiaan.[3]

Pendidikan diberikan bukan hanya dalam lembaga formal saja, namun juga diperlukan bimbingan pendidikan non formal. Pendidikan formal tidak sepenuhnya berjalan baik jika tidak diiringi oleh pendidikan non formal yang berupa peranan keluarga dan lingkungan dalam penerapan pendidikan. Joesoef Sulaiman dalam Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah mengemukakan[4]:

“Di dalam keluargalah anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting atau utama terhadap perkembangan pribadi anak.”

Keluarga adalah elemen terpenting dalam pembentukan dan pengembangan karakter seorang anak. Itulah sebabnya penekanan pendidikan kerap kali diberikan pada pendidikan non formal atau keluarga. Karena keluarga berperan sebagai pendidik. Hal ini berkaitan pula pada penjelasan tentang peran perempuan untuk memberikan pendidikan pada generasi selanjutnya.

Hambatan Penerapan Pendidikan Pada Perempuan

Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan terhadap perempuan masih tergolong rendah, tak jarang hal tersebut terjadi pada perempuan itu sendiri. Terkadang perempuan masih terjebak pada zona nyaman yang tak jauh dari dunia gemerlap, terdapat faktor internal dan eksternal sehingga menyebabkan pemikiran yang rabun akan dunia pendidikan. Salah satunya ialah faktor ekonomi yang mengharuskan perempuan tak dapat merasakan senangnya hidup dalam dunia pendidikan.

Di lain sisi, perempuan masih mengalami tindakan represif yang didasari oleh interpretasi agama yang cenderung dimaknai secara konservatif dan cenderung bias gender. Pemikiran tersebutlah yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam konteks pendidikan bagi perempuan. Salah contohnya ialah kisah Malala Yousafzai yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas idealismenya, dia memperjuangkan agar perempuan muda di Pakistan mampu mengenyam bangku pendidikan. Karena dalam budaya setempat, perempuan yang berpendidikan ialah monster dan tidak sesuai dengan budaya setempat. Situasi yang sama juga dirasakan perempuan Margdarshi dari India atau perempuan muda sub-Sahara Afrika yang terpaksa berhenti sekolah karena mengalami menstruasi dan terjadinya olokan yang tumbuh karena faktor menstruasi, serta sulitnya menapatkan pembalut yang menyebabkan mereka untuk merelakan pendidikan.[5]

Sedangkan di Indonesia sendiri, terdapat faktor ekonomi yang menjadi salah satu faktor ketertinggalan perempuan untuk merasakan pendidikan. Pada Mei 2017 lalu, Sanita gadis yang berasal dari Jawa Tengah yang akan dinikahkan orang tuanya pada usia yang cukup belia yakni 13 tahun, atas dasar kesulitan secara ekonomi. Namun ia menolak dan mengatakan:

“Jika Bapak dan Ibu menghentikan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan pendidikan, saya akan membayar seluruh biaya yang Bapak dan Ibu habiskan buat saya. Jika Bapak dan Ibu memaksa saya menikah, maka saya tidak akan punya apa-apa lagi,” (Kutipan dari Tirto.id, Kerikil Tajam Dunia Pendidikan).

Alasan lain menyebutkan bahwa adanya intervensi atau campur tangan antara urusan rumah tangga dan pendidikan, ketika perempuan ingin melanjutkan studi yang lebih tinggi. Maka akan ada hambatan yang menjelaskan bahwa pernikahan menjadi urusan utama daripada studi, jika merujuk pada kasus Sanita. Dalam konteks budaya yang umumnya kita jumpai di masyarakat Jawa, ada sebuah ungkapan seperti, lebih baik menikah di usia dini daripada harus menjadi perawan tua karena mementingkan studi, begitu kasarannya.

Padahal jika diteliti, semangat untuk berpendidikan makin lama kian pudar seiring dengan hambatan-hambatan yang terjadi. Jikalau menikah dibarengi dengan studi, maka perempuan akan mengalami peran ganda dan mengharuskan perempuan untuk bekerja keras untuk melakukan penyeimbangan, dalam konteks sosial yang masih berlutut pada pemikiran gender konvensional. Seperti pemikiran yang mengungkapkan bahwa suatu hal yang wajar jika laki-laki bekerja atau memperoleh segala impiannya, baik melakukan pengembangan diri ataupun melanjutkan studi, bukan mengurusi perkara domestik.

Kondisi lain mengatakan masih banyaknya pelecehan terhadap perempuan pada dunia pendidikan. Menurut penelitian Settles, dkk (2006) Sebagaimana dikutip dari Tirto,id, mengungkapkan jika pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus terjadi sekitar 36–44 persen. Seperti yang dituliskan pada jurnal Psychology of Women Quarterly, dari meta-analisis 71 studi, sebesar 58% perempuan pernah mengalami pelecehan pada ranah akademis.[6]

Di samping itu perempuan juga masih sering terjadi diskriminasi gender pada ruang dan upah kerja. Terlebih lagi hal tersebut terjadi jika berasal dari kelompok minoritas, dalam penelitiannya Settles, dkk menemukan adanya diskriminasi pada perempuan kulit hitam yang mempengaruhi psikis dari perempuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penemuan Settles, dkk yang mengatakan jika perempuan kulit hitam memiliki intensitas kepuasan kerja lebih minim daripada perempuan kulit putih. Penurunan kepuasan kerja tersebut, dilatarbelakangi oleh diskriminasi yang secara tidak langsung memicu tekanan dalam bekerja.

Perempuan masih mendapat tekanan yang beranggapan bahwa kurangnya tingkat produktivitas daripada laki-laki, sekalipun ia dapat menyangkalnya dengan kinerja yang dia berikan. Sehingga lambat laun akan menyebabkan pemudaran pada tingkat kepercayaan dirinya untuk melakukan berbagai tindakan. Padahal sebetulnya, perempuan berpengaruh besar pada setiap proses kehidupan.

Proses diskriminasi, pelecehan hingga tindakan yang cenderung merisak perempuan, merupakan realitas yang kita jumpai sekarang. Problem dari hambatan pendidikan ialah budaya patriarki yang masih dominan, sehingga turut mempengaruhi corak kebijakan terkait pendidikan. Selain itu terdapat diskriminasi secara budaya, di mana perempuan ditemptkan dalam subsistem di bawah laki-laki, hak-haknya dipinggirkan dan dikesampingkan.

Maka perlu ditekankan jikalau kurang meratanya pendidikan terutama untuk perempuan, tidak hanya diakibatkan oleh faktor ekonomi namun juga ada pengaruh dari budaya. Padahal berpuluh-puluh tahun yang lalu Kartini mengajarkan pentingnya emansipasi terhadap perempuan, minimal melalui pemberian akses pendidikan secara meluas. Namun dalam praktiknya masih belum berjalan maksimal, sehingga perempuan masih terkungkung dalam sangkar emas.

Sebelumnya diposting di lamrisurabaya.wordpress.com

Referensi

[1] Siti soemandari, Soeroto. 2001. Kartini (Sebuah Biografi). Jakarta: Djambatan. Hal 55

[2] Soekarno. 2010. Sarinah. Yogyakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno.

[3] Irawan, Aguk. 2016. Kartini: Kisah yang Tersembunyi. Banten: Javanica.

[4] Joesoef, Soelaiman. 2008. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

[5] Eqbal Dauqan. 18 Agustus 2017. Kerikil Tajam Dunia Pendidikan. Tirto.id, diakses pada 26 Maret 2018, pukul 18.00 WIB, https://tirto.id/kerikil-tajam-dunia-pendidikan-untuk-perempuan-cuHk

[6] Ibid, Kerikil Tajam Dunia Pendidikan

Atensi Bu Dr. Nina

Perempuan dan Pendidikan: Implementasi Pemikiran Kartini

*Canty Nadya

https://suaraperempuanpesada.wordpress.com

“Jika anda mendidik seorang laki-laki berarti anda telah mendidik seorang person, tapi bila anda mendidik seorang perempuan berarti anda telah mendidik seluruh anggota keluarga.”

Pendidikan dan perempuan, kedua elemen yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Sistem pendidikan jika tak menyertakan perempuan maka itu bukan esensi pendidikan, karena pendidikan adalah bagimana menciptakan keadilan yang humanis. Karena dengan mengalienasi perempuan dari pendidikan, maka sama halnya dengan melanggengkan kebodohan untuk dominasi kekuasaan pada segelintir mahkluk.

Salah satu permasalahan yang dianggap paling berat untuk perempuan ialah rekognisi pendidikan untuk perempuan, realitas yang umum kita jumpai perempuan selalu dipandang sebelah mata. Karena pendidikan untuk perempuan tak diterapkan secara fundamental, hanya sebagai formalitas semata atau lebih parahnya jika pandangan bahwa pendidikan untuk perempuan seharusnya tak diberikan sama sekali, agar tunduk pada sistem dan semakin terkungkung dalam penindasan.

Pemikiran akan pentingnya pendidikan untuk perempuan tak hanya dilayangkan oleh para pemikir Barat saja, namun dalam konteks Indonesia, ada pemikir serta pegiat perempuan lokal yang memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan secara layak,dia adalah R.A. Kartini. Kartini menuangkan pemikirannya dalam surat-surat yang dikirimkan kepada J. H. Abendanon. Kumpulan surat pribadi Kartini tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1912 dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang­­). Kumpulan surat Kartini tersebut menjadi sebuah alternatif pemikiran tentang pendidikan perempuan. Sebagai sebuah kritik sosial pada realitas, bahwasanya perempuan juga perlu pendidikan. Salah satu pokok substansi pemikiran Kartini adalah Emansipasi atau upaya mewujudkan kesetaraan perempuan dalam mendapatkan pendidikan.[1]

Kedua pernyataan tersebut dapat digunakan sebagai acuan tentang peran perempuan dalam hal pendidikan, bagaimana institusi pendidikan dan lingkungan memberikan hak kepada perempuan untuk memperoleh pendidikan dengan sepenuhnya tanpa ada intrik sosial. Perempuan jangan lagi mengalami ketertinggalan perihal pemikiran dan pengetahuan. Karena aspek pendidikan untuk perempuan berpengaruh pada segala bidang, bahkan jika seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, diperlukan pula pembekalan akan hal tersebut. Pendidikan bukan hanya milik perempuan yang memiliki akses ekonomi atau strata sosial menengah ke atas, melainkan dapat dinikmati oleh seluruh perempuan secara merata, itulah arti kesetaraan itu sendiri.

Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan

Perempuan memiliki peranan yang sangat penting dalam hal pendidikan, bahkan pendidikan pertama yang diberikan kepada anak ialah dari seorang ibu. Ibu memiliki andil yang besar dalam melakukan pengembangan potensi anak. Bukan berati tugas mendidik hanya diberikan kepada ibu semata, ayah juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak, namun tidak seotentik seorang ibu. Karena ibu memiliki keterikatan batin yang kuat dengan anak. Ada sebuah pepatah yang mengatakan jika perempuan cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas pula. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan akan berpengaruh dalam pola pikir dalam berkeluarga, cara mendidika anak dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan di keluarga.

Kartini dapat dikatakan sebagai tokoh pembaru di bidang pendidikan perempuan, yang memiliki terobosan dalam mengajarkan pentingnya arti pendidikan bagi perempuan. Perjuangannya tersebut berhasil memberikan perubahan bagi perempuan menuju pemikiran yang lebih maju. Bahwa semestinya perempuan juga harus memiliki peranan penting dalam lingkungan sosial mereka.

Sukarno kemudian menafsirkan perempuan dalam sepenggal kalimat “Perempuan itu tiang negeri,”[2] dalam konteks kalimat dari Sukarno tersebut, maka seharusnya perempuan sadar akan posisinya untuk mencetak peradaban bangsa yang berkemajuan. Sedangkan alat untuk menjalankannya ialah pendidikan, jika perempuan mendapatkan pendidikan yang baik, maka jangan heran jika sebuah negara atau institusi di mana perempuan itu berpijak akan mengangkat martabat bangsa.

Pendidikan bukan hanya berkaitan soal mengasah akal dan tingkat intelektual saja, namun juga memperhatikan kepribadian. Kartini mengatakan jika pendidikan bukan hanya mempertajam akal, budi pekerti pun juga harus dipertinggi. Intinya ialah dalam menjalankan sistem pendidikan, tidak hanya mengutamakan tingkat kecerdasan semata, namun juga menanamkan budi pekerti pula. Jika hanya mengunggulkan sisi kecerdasan tanpa memperhatikan hal yang lain, maka yang terjadi ialah rasa superioritas dan rendahnya sikap kemanusiaan.[3]

Pendidikan diberikan bukan hanya dalam lembaga formal saja, namun juga diperlukan bimbingan pendidikan non formal. Pendidikan formal tidak sepenuhnya berjalan baik jika tidak diiringi oleh pendidikan non formal yang berupa peranan keluarga dan lingkungan dalam penerapan pendidikan. Joesoef Sulaiman dalam Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah mengemukakan[4]:

“Di dalam keluargalah anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting atau utama terhadap perkembangan pribadi anak.”

Keluarga adalah elemen terpenting dalam pembentukan dan pengembangan karakter seorang anak. Itulah sebabnya penekanan pendidikan kerap kali diberikan pada pendidikan non formal atau keluarga. Karena keluarga berperan sebagai pendidik. Hal ini berkaitan pula pada penjelasan tentang peran perempuan untuk memberikan pendidikan pada generasi selanjutnya.

Hambatan Penerapan Pendidikan Pada Perempuan

Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan terhadap perempuan masih tergolong rendah, tak jarang hal tersebut terjadi pada perempuan itu sendiri. Terkadang perempuan masih terjebak pada zona nyaman yang tak jauh dari dunia gemerlap, terdapat faktor internal dan eksternal sehingga menyebabkan pemikiran yang rabun akan dunia pendidikan. Salah satunya ialah faktor ekonomi yang mengharuskan perempuan tak dapat merasakan senangnya hidup dalam dunia pendidikan.

Di lain sisi, perempuan masih mengalami tindakan represif yang didasari oleh interpretasi agama yang cenderung dimaknai secara konservatif dan cenderung bias gender. Pemikiran tersebutlah yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam konteks pendidikan bagi perempuan. Salah contohnya ialah kisah Malala Yousafzai yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas idealismenya, dia memperjuangkan agar perempuan muda di Pakistan mampu mengenyam bangku pendidikan. Karena dalam budaya setempat, perempuan yang berpendidikan ialah monster dan tidak sesuai dengan budaya setempat. Situasi yang sama juga dirasakan perempuan Margdarshi dari India atau perempuan muda sub-Sahara Afrika yang terpaksa berhenti sekolah karena mengalami menstruasi dan terjadinya olokan yang tumbuh karena faktor menstruasi, serta sulitnya menapatkan pembalut yang menyebabkan mereka untuk merelakan pendidikan.[5]

Sedangkan di Indonesia sendiri, terdapat faktor ekonomi yang menjadi salah satu faktor ketertinggalan perempuan untuk merasakan pendidikan. Pada Mei 2017 lalu, Sanita gadis yang berasal dari Jawa Tengah yang akan dinikahkan orang tuanya pada usia yang cukup belia yakni 13 tahun, atas dasar kesulitan secara ekonomi. Namun ia menolak dan mengatakan:

“Jika Bapak dan Ibu menghentikan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan pendidikan, saya akan membayar seluruh biaya yang Bapak dan Ibu habiskan buat saya. Jika Bapak dan Ibu memaksa saya menikah, maka saya tidak akan punya apa-apa lagi,” (Kutipan dari Tirto.id, Kerikil Tajam Dunia Pendidikan).

Alasan lain menyebutkan bahwa adanya intervensi atau campur tangan antara urusan rumah tangga dan pendidikan, ketika perempuan ingin melanjutkan studi yang lebih tinggi. Maka akan ada hambatan yang menjelaskan bahwa pernikahan menjadi urusan utama daripada studi, jika merujuk pada kasus Sanita. Dalam konteks budaya yang umumnya kita jumpai di masyarakat Jawa, ada sebuah ungkapan seperti, lebih baik menikah di usia dini daripada harus menjadi perawan tua karena mementingkan studi, begitu kasarannya.

Padahal jika diteliti, semangat untuk berpendidikan makin lama kian pudar seiring dengan hambatan-hambatan yang terjadi. Jikalau menikah dibarengi dengan studi, maka perempuan akan mengalami peran ganda dan mengharuskan perempuan untuk bekerja keras untuk melakukan penyeimbangan, dalam konteks sosial yang masih berlutut pada pemikiran gender konvensional. Seperti pemikiran yang mengungkapkan bahwa suatu hal yang wajar jika laki-laki bekerja atau memperoleh segala impiannya, baik melakukan pengembangan diri ataupun melanjutkan studi, bukan mengurusi perkara domestik.

Kondisi lain mengatakan masih banyaknya pelecehan terhadap perempuan pada dunia pendidikan. Menurut penelitian Settles, dkk (2006) Sebagaimana dikutip dari Tirto,id, mengungkapkan jika pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus terjadi sekitar 36–44 persen. Seperti yang dituliskan pada jurnal Psychology of Women Quarterly, dari meta-analisis 71 studi, sebesar 58% perempuan pernah mengalami pelecehan pada ranah akademis.[6]

Di samping itu perempuan juga masih sering terjadi diskriminasi gender pada ruang dan upah kerja. Terlebih lagi hal tersebut terjadi jika berasal dari kelompok minoritas, dalam penelitiannya Settles, dkk menemukan adanya diskriminasi pada perempuan kulit hitam yang mempengaruhi psikis dari perempuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil penemuan Settles, dkk yang mengatakan jika perempuan kulit hitam memiliki intensitas kepuasan kerja lebih minim daripada perempuan kulit putih. Penurunan kepuasan kerja tersebut, dilatarbelakangi oleh diskriminasi yang secara tidak langsung memicu tekanan dalam bekerja.

Perempuan masih mendapat tekanan yang beranggapan bahwa kurangnya tingkat produktivitas daripada laki-laki, sekalipun ia dapat menyangkalnya dengan kinerja yang dia berikan. Sehingga lambat laun akan menyebabkan pemudaran pada tingkat kepercayaan dirinya untuk melakukan berbagai tindakan. Padahal sebetulnya, perempuan berpengaruh besar pada setiap proses kehidupan.

Proses diskriminasi, pelecehan hingga tindakan yang cenderung merisak perempuan, merupakan realitas yang kita jumpai sekarang. Problem dari hambatan pendidikan ialah budaya patriarki yang masih dominan, sehingga turut mempengaruhi corak kebijakan terkait pendidikan. Selain itu terdapat diskriminasi secara budaya, di mana perempuan ditemptkan dalam subsistem di bawah laki-laki, hak-haknya dipinggirkan dan dikesampingkan.

Maka perlu ditekankan jikalau kurang meratanya pendidikan terutama untuk perempuan, tidak hanya diakibatkan oleh faktor ekonomi namun juga ada pengaruh dari budaya. Padahal berpuluh-puluh tahun yang lalu Kartini mengajarkan pentingnya emansipasi terhadap perempuan, minimal melalui pemberian akses pendidikan secara meluas. Namun dalam praktiknya masih belum berjalan maksimal, sehingga perempuan masih terkungkung dalam sangkar emas.

Sebelumnya diposting di lamrisurabaya.wordpress.com

Referensi

[1] Siti soemandari, Soeroto. 2001. Kartini (Sebuah Biografi). Jakarta: Djambatan. Hal 55

[2] Soekarno. 2010. Sarinah. Yogyakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno.

[3] Irawan, Aguk. 2016. Kartini: Kisah yang Tersembunyi. Banten: Javanica.

[4] Joesoef, Soelaiman. 2008. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

[5] Eqbal Dauqan. 18 Agustus 2017. Kerikil Tajam Dunia Pendidikan. Tirto.id, diakses pada 26 Maret 2018, pukul 18.00 WIB, https://tirto.id/kerikil-tajam-dunia-pendidikan-untuk-perempuan-cuHk

[6] Ibid, Kerikil Tajam Dunia Pendidikan