Senin, 06 November 2023
Idini Aku dadi Amaris
Menggelandang di Jamarot
Menggelandang’ di Jamarot
Oleh : Hj Emi Sudarwati *)
‘Ratusan’ kali saya mendatangi saudara dan kerabat yang pulang haji. Tapi sama sekali tidak pernah mendengar cerita tentang ini. Seru pakai banget, menurut saya. Benar-benar belajar hidup ‘susah’. Memahami betapa beratnya kehidupan manusia yang tidak memiliki tempat tinggal.
Singkat cerita. Seharusnya rombongan kami mendapat tempat bermalam atau mabit di Mina Jadid. Sangat jauh dari Jamarot. Oleh karena itu, ketua rombongan memutuskan, bahwa kami pulang ke hotel saja. Karena jarak jamarot dengan hotel kami sangat dekat. Namun kewajiban mabit di Mina juga harus terlaksana. Jika tidak, maka akan kena dam (denda).
Singkat cerita. Sesudah salat ashar, rombongan kami menuju ke Mina untuk mabit. Seperti jamaah lain, semua mengambil tempat di sekitar jamarot. Dengan harapan, waktu melempar jumroh tidak terlalu jauh. Selain itu, tempatnya dekat dengan hotel kami. Sehingga, usai melewati tengah malam, bisa langsung pulang dan tidur di hotel.
Selama dua malam mabit di Mina, tampak begitu berat. Karena kami semua benar-benar persis dengan ‘gelandangan’. Duduk dan tiduran di tepi-tepi jalan dan trotoar. Belum sampai lima menit duduk, ada suara sirine dari mobil para laskar yang mengusir kami. Suaranya sangat keras dan menakutkan. "Thoriq... thoriq... ya haji... pergi... pergi...."
Kami berhamburan seperti gelandangan dan pedangan asongan yang kena razia satpol PP. Mencari tempat lain untuk sekedar duduk dan tiduran. Ya... masih saja di trotoar pinggir jalan.
Saya sempat berfikir, apakah ini gambaran perjuangan Nabi Muhammad dahulu kala. Selalu dikejar-kejar dan diusir saat beribadah. Entahlah.... tapi ini adalah sekolah kehidupan. Banyak pelajaran penting yang bisa kita petik dari sana. Terutama tentang kepedulian terhadap sesama. Saat kami capek berlari mondar-mandir, tiba-tiba ada seseirang yang memberi kami sekotak makanan. Tentu saja menu ala Arab Saudi, nasi kebuli. Wao... rasanya aneh banget. Tapi karena lapar, makanan-makanan itu habis juga.
Dua malam kami pontang-panting hanya untuk sekedar mencari tempat duduk dan beristirahat hingga lewat tengah malam. Namun karena semua kami lakukan bersama banyak orang, rasanya benar-benar mantap. Oh... inilah nikmatnya berhaji. Bisa merasakan derita sesama.
Bersama KBIH Masyarakat Madani kita bisa beribadah secara mandiri. Terimakasih atas semua pengalaman berharga ini. Matur nuwun kawan kawan, matur nuwun Pak Kosim dan para pembimbing semuanya. Mohon maaf atas semua khilaf.
Semoga mabrur. Aamiin....
Semoga kita selalu sehat.
*) Jamaah haji Madani 2018
Pernah terbit September 2018
HPPAK
Telung Wengi ing Alana
NGUDARASA
Ketentuan Menulis Buku GPW 9
Eksistensi Bahasa Daerah di Indonesia
Mengejar 7X Raudhah
Mengejar 7X Raudhah
Oleh : Hj Emi Sudarwati *)
Meskipun seorang sahabat berkata, "ini hanya sunah, terutama bagi seorang wanita." Namun entah kenapa, saya begitu menemukan sesuatu yang berbeda saat bekunjung ke Raudhah. Ya, Raudhah dahulu kala merupakan rumah Siti Aisyah.
Di sana ada makam Nabi Muhammad SAW. Mengapa ‘harus’ tujuh kali? Entahlah, jawabannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ha ha ha....
Perjalanan dari Kota Makah ke Kota Madinah kami tempuh dalam kurun waktu kurang lebih 5 jam. Dengan kecepatan rata-rata 145km per jam. Wao... supir bus kami memang memacu kendaraan dengan sangat kencang. Awalnya saya merasa takut. Namun karena kondisi jalanan sepi, rasa itu perlahan-lahan hilang juga.
Sebelum magrib, rombongan kami telah tiba. Begitu menginjakkan kaki di Kota Madinah, terbersit keinginan dari dalam hati kecil saya. Ingin datang dan melakukan salat sunah di Raudhah sebanyak tujuh kali. Pikiran itu tiba-tiba saja muncul.
Beberapa hari yang lalu, saat masih tinggal di Kota Makah. Saya sering bertanya kepada jamaah haji lain yang sudah terlebih dahulu dari Kota Madinah. Mereka dengan semangat bercerita tentang Raudhah dan segala pesonanya. Keinginan saya langsung membuncah. Mereka yang saya tanya, rata-rata sudah bisa masuk dan salat di Raudhah sebanyak dua sampai tiga kali. Itu pun dilakukan dengan perjuangan keras. Oh... benarkah seberat itu perjuangan menuju Raudhah? Adrinalin saya langsung tertantang. Berbagai informasi tentang cara masuk ke Raudhah saya kumpulkan. Agar bisa lancar menuju ke sana.
"Lewat pintu 25," kata Bu Reni. Kami berlima langsung menuju ke pintu yang dimaksud. Tapi karena jaraknya sangat jauh, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Pilihan selanjutnya adalah kembali ke hotel menemui para suami. Beruntung, ada Pak Kosim. Beliau adalah ketua rombongan kami. Setelah mendapat beberapa penjelasan, semua kembali berjalan menuju pintu 25.
"Raudhah?" tanya saya kepada seorang laskar perempuan.
"Ya, Melayu masuk. Duduk...," kata perempuan bercadar itu dengan logat Bahasa Indonesia yang lucu.
Kami menuruti saja perintah wanita itu. Meskipun sebenarnya ingin banyak bertanya, namun mereka semua tidak bisa berbahasa Indonesia. Yang dihafalkan hanya beberapa kata saja. Misalkan:Ibu, masuk, duduk, dan sabar.
Hampir satu jam kami menunggu sambil membaca Al Quran dan bersalawat. Akhirnya laskar itu memberi isyarat kepada kami semua untuk berdiri. Pintu di depan kami terbuka. Semua berlari menuju ruang tunggu yang lain. Oh... ternyata masih harus menunggu lagi dengan sabar selama kurang lebih tiga puluh menit. Pintu berikutnya terbuka lagi. Seperti pintu sebelumnya, kami pun harus duduk dan mengantri lagi dengan sabar.
Ya... sekitar tiga puluh menit, barulah kami diizinkan masuk ke Raudhah. Ruangannya sangat sempit, untuk memuat jamaah sebanyak itu. Sehingga untuk salat dibatasi dua rakaat saja, lalu keluar. Berdoanya hanya bisa sambil berdiri. Namun entah kenapa, tempat tersebut begitu membuat saya kangen.
"Assalamualaika ya Nabi Allah, Assalamualaika ya Rasul Allah," demikian sapa pertama saya.
Air mata langsung tumpah. Seolah berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad SAW. Saya berdoa dan meminta kepada Gusti Allah, agar kelak meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Saya juga meminta, agar bisa berkumpul dengan suami, anak-anak, kedua orang tua, saudara-saudara, keluarga besar, teman, tetangga dan seluruh umat muslim bersama Nabi Muhammad SAW di surga.
Demikian juga di hari ke dua, ketiga sampai hari ke tujuh. Selalu ada rasa yang berbeda di makam Rasul Allah. Air mata selalu saja tumpah, meski sudah beberapa kali memasuki tempat itu.
Alhamdulilah, target 7X berkunjung dan salat di Raudhah bisa tercapai. Tidak ada yang berat, dibanding nikmatnya bisa berjumpa sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Saya sampaikan seluruh salam saudara-saudara sesama muslim. Juga titipan doa kepada Gusti Allah. Bahkan dari teman-teman non muslim. Mudah-mudahan semua diijabah. Aamiin....
Bersama KBIH Masyarakat Madani kita bisa...
Semoga kita selalu sehat.
*) Jamaah haji Madani 2018
Pernah terbit September 2018
Sujud di Bawah Talang Mas
Sujud di Bawah Talang Mas
Oleh : Hj Emi Sudarwati *)
Puluhan kali naik pesawat. Namun nikmatnya tak seperti malam itu. Ya, penerbangan menuju rumah Allah yang sekian tahun ditunggu dengan sabar.
Sujud sukur langsung saya lakukan begitu turun dari Saudia Airline. Meraung sekeras-kerasnya, melawan suara pesawat yang memekakkan telinga. Gusti Allah, hamba datang memenuhi panggilanMu. Dengan ilmu yang sangat sedikit ini, hamba memohon bimbinganMu. Lindungilah kami dari kejahatan orang-orang di negri ini.
Setelah itu, dengan sedikit goyah kaki ini berusaha bangkit. Memeluk beberapa teman terdekat. Kami pun menangis sejadi-jadinya. "Kita sudah sampai Jedah, kita sudah sampai King Abdul Aziz, kita benar-benar akan berhaji," gumam saya.
"Semoga kita semua menjadi haji yang mabrur ya," saut seorang teman.
"Aamiin...," jawab kami semua hampir serentak. Tentu saja dengan suara parau, karena usai menangis.
Jutaan jamaah haji seluruh dunia menjadi saksi. Air mata saya tumpah laksana air bah. Mengalir deras tiada terbendung lagi. Menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Maha Pencipta. Teringat semua dosa yang pasti akan segera mendapat pengampunan. Karena Gusti Allah maha pemurah.
"Ya Allah.... saya sudah berdiri tepat di depan kabah." Tempat yang sangat diidamkan oleh umat Islam sejagad raya.
Tawaf umrah dan sai, masing-masing 7 putaran berjalan dengan mulus. Hingga salat sunah di depan maqom Ibrahim dan tahalul pun sama sekali tiada kendala.
Ternyata lebih mudah dari yang saya bayangkan sebelumnya. Saya dan suami menengok ke kanan dan ke kiri. Teman-teman banyak yang belum selesai. Akhirnya kami putuskan kembali mendekati kabah. Meski penuh sesak oleh jutaan jamaah haji yang sedang bertowaf, tapi dengan mudah kami bisa mendekati pintu kabah. Konon katanya, tempat itu adalah sangat mustajabah untuk berdoa. Air mata kembali betcucuran. Saya mulai berdoa untuk diri sendiri, anak-anak, saudara-saudara, teman2, tetangga-tetangga, siswa-siswi dan umat islam di seluruh dunia. Semoga semuanya bisa berhaji, yang sakit diberi kesembuhan dan lain-lain. Yang terpenting adalah doa untuk bapak dan ibu yang sudah tiada. Berharap kami semua bisa bersatu di surga bersama Nabi Muhammad SAW.
Oh iya, ada lagi satu tempat yang sangat mustazabah, yaitu di bawah talang mas dalam Hijir Ismail. Sebelum berangkat, ada pesan dari Pak Edy. Bahwa untuk salat dan berdoa di tempat itu bukanlah hal yang mustahil. Menurut beliau, kami pasti bisa. Berdoa di Hijir Ismail dan di bawah talang mas adalah harapan kami sejak dari tanah air.
Sebelum memasuki pintu Hijir Ismail, kami sempat berkecil hati. Karena melihat begitu berjubelnya tempat itu. Penuh sesak dengan orang-orang dengan postur tubuh tinggi dan besar. Sempat juga terfikir untuk mundur saja, tapi tekat sudah terlanjur bulat.
"Gusti Allah. kula nyuwun putulungan...," bisik kami berdua. Tiba-tiba seseorang memberi jalan. Kami serdua segera masuk, melakukan shalat dan berdoa secara bergantian. Air mata lembali tumpah. Kami mengulang semua doa yang telah terucap di depan pintu kabah.
Tiba-tiba, seseorang mendorong kami dengan sangat kuat. Tubuh ini terpental beberapa langkah. Saya sempat terpisah dengan suami. Tiada terduga, tubuh ini mendarat tepat di bawah talang mas. Saya melihat ke atas dengan takjub, lalu melakukan shalat dua rakaat dan kembali mengulang doa. Waktu menengok ke belakang, ternyata suami sudah berada di tempat yang sama. "Alhamdulillah..., kita bisa bersujud di bawah Talang Mas," bisik saya. Bersama KBIH Masyarakat Madani kita bisa beribadah secara mandiri.
Terimakasih atas semua pengalaman berharga ini. Matur nuwun kawan kawan, matur nuwun Pak Kosim dan para pembimbing semuanya.
Mohon maaf atas semua hilaf.
Semoga kita selalu sehat.
*) Jamaah haji Madani 2018
Pernah terbit September 2018