Cerpen Ramadhan_Ujian Puasa Pertama
UJIAN PUASA PERTAMA
Emi Sudarwati
Bukan saya saja yang mengalami ujian berat pada puasa pertama. Tetapi hampir semua umat islam yang menjalankannya. Namun kali ini, sungguh berbeda dengan puasa pertama pada tahun-tahun yang lalu. Itu karena anak pertama saya. Prabu namanya. Sejak dulu, kami sangat bangga dengan Si Sulung. Meskipun secara akademis, nilainya biasa-biasa saja. Tapi anak ini sangat penurut dan rajin beribadah. Sejak kecil sampai kuliah, sikapnya tidak pernah berubah. Baik, sopan, patuh dan masih banyak lagi kelebihan yang dimiliki. Kecuali malam ini. Dia sudah membuat saya sangat kecewa.
Singkat cerita. Malam pertama sebelum puasa. Kami berempat menjalankan shalat tarawih di mushola kecil RT. Jamaahnya tidak banyak. Hanya sekitar empat puluh kepala keluarga. Tentu saja bersama anggota keluarganya. Seusai shalat, saya, suami dan Adik Abikara pulang ke rumah. Kami bertiga memilih tadarus di mushola rumah saja. Sedangkan Kakak Prabu tetap tinggal di mushola RT. Tadarus bersama teman-temannya. Tak apalah, toh dia sudah membawa kunci rumah.
Setelah mengunci semua pintu rumah dan pagar. Kami bertiga menuju mushola rumah. Bergegas mengambil alquran dan mengaji sendiri-sendiri. Pastinya dengan suara lirih. Sehingga satu sama lain tidak saling mengganggu. Setelah jam sembilan, kami putuskan untuk mengakhiri acara tadarus itu. Jika terlalu malam tidurnya, takut kalau besuk tidak bisa bangun jam dua pagi. Saya harus masak untuk makan saur seluruh anggota keluarga. Tanpa menunggu Kakak Prabu pulang ke rumah, kamipun terlelap.
Alarm di HP saya berbunyi, tepat jam dua pagi. Saya segera membangunkan Mas Catur dan anak-anak. Betapa kagetnya, teryata Kakak Prabu belum ada di kamarnya. Berarti semalaman dia tidak pulang.
“Kemana kakak?” tanya saya kepada ayah dan adik.
“Lho... apa tidak ada di kamarnya?” tanya ayah.
“Kalau ada, pastinya saya tidak tanya dong,” jawab saya sewot. Lalu bergegas ke dapur. Mengambil beras dan mencucinya. Lalu memasak semua, walau dengan perasaan galau.
Sementara itu, adik dan ayah mengambil air wudhu dan mulai mengaji. Kami bertiga tenggelam dalam aktifitas masing-masing. Sampai akhirnya, pas jam tiga pagi kami mendengar ada suara seseorang membuka pagar. Itu pasti Kakak Prabu, pikir kami semua. Dia mengetuk memasukkan kunci ke lubang pintu belakang, namun tidak bisa dibuka. Karena tidak sengaja, slot di pintu itu tergeser. Kami semua diam, tidak ada yang bergerak untuk membukakan pintu. Ada rasa marah berkecamuk di dada.
Setelah puluhan kali dia mengetuk pintu, dan tidak ada yang membuka. Lama-kelamaan Kakak menuju ke pintu depan. Dia bisa masuk dari pintu depan. Melihat kami semua diam, mungkin ada rasa bersalah. Anehnya, anak itu tidak langsung minta maaf. Tapi menuju ke kamar, dan menutup pintu.
Dengan menahan nafas, kami bertiga makan saur. Sengaja tidak mengajak Kakak, karena masih marah. Ternyata sampai imsak, dia tetap tidak keluar dari kamar. Kami bertiga berlagak tidak perduli, walau sebenarnya sangat khawatir. Bahkan sampai kami jamaah shalat subuh, kakak tetap tidak keluar kamar. Baru keluar dan mengambil wudhu saat kami meninggalkan mushola. Tetap tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Setelah itu langsung masuk kamar lagi. Begitu juga setelah shalat dhuhur dan asyar. Dia hanya ke luar kamar untuk shalat, dan langsung masuk lagi sesudahnya.
Jujur, kami bertiga sangat penasaran. Butuh dia menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Sehingga dia sampai tidak pulang semalaman. Sampai menjelang magrib. Waktu saya sedang menyiapkan makanan buat buka puasa. Tiba-tiba kakak mendekat.
“Buk, maafkan saya,” katanya lirih. Ada air bening menetes dari sudut matanya.
Saya hanya meliriknya. Pura-pura tidak peduli. Walau dalam hati sudah luluh. Melihat kakak menangis.
“Semalam saya darus sampai jam sebelas. Lalu teman-teman mengajak membuat posko Covid 19. Tidak terasa, ternyata jam tiga pagi baru selesai. Lalu kami makan saur di rumah Pak RT. Jadi...,” dia tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa tidak pamit dulu?” tanya saya mulai mengalah.
“Maf Buk, saya lupa.”
“Baik, kali ini ibu maafkan. Tapi lain kali, tidak. Kakak tahu kan, bagaimana perasaan kami semua?”
Air mata saya tak bisa terbendung lagi. Kami berdua berpelukan, dan sama-sama menangis. Lalu saya meminta kakak meminta maaf kepada ayah dan adik, karena sudah membuat kami semua khawatir. Itulah ujian di hari pertama puasa keluarga kami.
Baureno, 24 April 2020
Wow.,.bagus
BalasHapusMantap benar
BalasHapusKisahnya keren ibu.
BalasHapusCerpennya keren bunda.
BalasHapusSampai ikutan menitikan air mata...