“Git, belikan juga baju untuk Fitri. Dia suka warna merah.” Mas Haris berkata padaku saat aku asyik memilih-milih lingerie di counter yang khusus menjual aneka ragam pakaian dalam wanita.
Aku tersentak. Belikan untuk Fitri, katanya? Baju seksi ini? Bahkan Mas Haris bilang adik perempuannya yang masih kelas dua SMA itu suka warna merah. Tentu saja aku tercengang mendengar perkataan lelaki yang baru menikahiku tiga bulan itu. Nuraniku mengatakan bahwa kata-katanya tadi sungguh ganjil.
“Mas, ini kan ….” Tak sampai hati aku menerus kalimat. Suamiku yang harusnya menunggu saja di depan toko tapi malah ngotot ingin ikut masuk melihatku memilih lingerie, menatapku dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.
“Kenapa memangnya, Gita?” lirih Mas Haris sembari makin mendekat padaku. “Belikan saja,” tambahnya lagi sembari mengulas senyum kecil.
Cepat tanganku meraih gaun tidur menerawang warna merah yang satu set dengan celana tong berenda. Aku gemetar. Perasaanku benar-benar sangat tak enak. Suamiku, mengapa seruannya kali ini membuatku heran bukan kepalang.
“Nah, yang itu bagus. Punyamu yang mana?” tanya Mas Haris sembari menggamit lenganku.
“Aku ambil yang hitam saja.” Kusambar pakaian dengan model sama yang berada pada deretan nomor dua setelah lingerie merah tadi. Kakiku segera melangkah menuju kasir dalam keadaan tangan yang masih digamit erat oleh Mas Haris yang semula kukenal lewat aplikasi kencan selama dua bulan lamanya, kemudian tanpa kusangka malah mengajak menikah tanpa proses yang berbelit-belit.
“Cuma ini saja?” tanya suamiku yang berperawakan tinggi besar dengan jambang tercukur rapi di kedua pipi tembam putih miliknya.
“Iya.” Jujur, nafsu belanjaku sudah buyar. Tadinya aku ingin membeli beberapa underware baru dan kimono satin untuk tidur. Namun, ucapan Mas Haris yang minta dibelikan lingerie untuk si Fitri benar-benar membuatku kehilangan mood.
Berada di depan kasir, pikiranku benar-benar melayang. Tak kuhiraukan Mas Haris yang mengeluarkan dompet untuk membayar dua potong baju malam tersebut. Aku benar-benar syok. Bukan karena aku tak suka suamiku mengeluarkan uang untuk adik semata wayangnya. Tidak sama sekali! Namun, masalahnya yang dibeli adalah sebuah pakaian sensual yang tak seharusnya dimiliki seorang gadis belia seperti Fitri. Terlebih, suruhan untuk membelinya itu keluar dari mulut seorang lelaki dewasa yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Fitri memang satu-satunya adik yang Mas Haris miliki. Namun, apakah pantas suamiku membelikan sesuatu yang bagiku tabu?
“Ayo, Git.” Mas Haris menggenggam tanganku. Membuat pikiran ini langsung buyar seketika.
“I-iya,” jawabku agak terbata sebab masih merasa janggal dengan perilaku Mas Haris hari ini.
Kami berdua pun keluar dari toko pakaian dalam tersebut. Berjalan menyusuri mal dan menaiki tangga esklataor untuk naik ke lantai tiga. Aku tak tahu Mas Haris ingin mengajak ke mana lagi. Pikiranku masih berkelebat tentang Fitri.
Gadis itu memang sangat cantik. Kulitnya putih, sama seperti Mas Haris. Tubuhnya mungil, 11-12 denganku. Berbanding terbalik dengan Mas Haris yang tingginya mencapai 179 sentimeter. Selain cantik, Fitri adalah gadis yang sangat manja. Saat kami pindah rumah, dia bahkan ingin ikut dan tidak keberatan meninggalkan papa mertuaku seorang diri. Ya, almaruhmah mama Mas Haris memang sudah meninggal empat tahun yang lalu sebab penyakit kanker payudara. Begitu menurut penuturan Mas Haris.
Aku maklum jika Mas Haris sayang pada gadis itu. Apalagi kulihat Papa orangnya dingin dan sangat sibuk bekerja di kantor. They must be aware that they won't get paid if we didn't receive the full document.main ke tempat temannya pun minta diantar oleh suamiku. Untung Mas Haris seorang pengusaha kafetaria dan beberapa outlet minuman yang punya anak buah dan lebih banyak di rumah. Coba kalau pekerja kantoran? Mana dia tak mau jika aku yang mengantar. Yah, kupikir mungkin dia memang sudah begitu. Apa hakku untuk mengubah kebiasaannya selama ini? Namun, mengapa hari ini tiba-tiba aku berpikiran lain?
“Kamu kenapa melamun, Git?” Mas Haris yang merangkul tubuhku bertanya dengan nada lembut. Lelaki itu mengusap-usap rambut ikal gantung sebahuku. Matanya menatap dengan tatapan sehangat matahari pagi. Jika dia sudah bersikap begini, sedikit banyak pikiran jelekku perlahan sirna.
“Nggak, Mas. Nggak apa-apa,” elakku.
“Mikirin apa?” Lelaki itu masih mendesak. Kami terus berjalan, tapi Mas Haris tak melepaskan tatapannya dari wajahku.
“Lingerie itu, Mas,” kataku tak bisa menahan diri.
“Kenapa?”
“Fitri kan masih remaja. Kenapa Mas belikan untuknya?” Aku menatap Mas Haris dengan wajah takut-takut. Sebenarnya aku khawatir bila dia tersinggung.
“Lucu soalnya. Dia pasti suka.” Senyum Mas Haris dikulum. Lelaki itu kemudian memandang lurus ke depan sembari tak mengenyahkan senyumannya. Jantungku langsung berdegub sangat kencang. Entah mengapa aku makin merasa tak enak perasaan.
“Eh, Git, Fitri itu mulai pacar-pacaran sepertinya. Tolong kamu ingatin sesekali, ya? Aku takut dia kebablasan.” Mas Haris mengencangkan rangkulannya. Kami terus berjalan melewati beberapa toko yang berjejer di sepanjang mal yang luas.
“Wajar, Mas. Namanya remaja,” kataku masih dengan degupan jantung yang keras.
“Aku nggak suka, Gita. Aku maunya kamu yang ingatin. Kalau aku yang buka suara, aku takut khilaf soalnya.” Nada Mas Haris saat ini berubah serius. Tak ada senyuman lagi di wajahnya. Aku seketika bergidik. Mengapa dia sampai segitunya? Bukankah hal yang wajar bila remaja mulai menyukai lawan jenisnya?
“Kita makan dulu ke atas, yuk. Sambil ngobrol-ngobrol.” Mas Haris kemudian mengajakku untuk naik ke lantai lima dengan menaiki eskalator. Lelaki itu tak melepaskan rangkulannya meski kami berada di atas tangga sekali pun. Dia memang romantis. Penuh sentuhan dan kata-kata manis. Namun … ah, sudahlah. Aku merasa lelah jika berpikiran negatif terus. Bukankah aku harusnya bersyukur bisa menikah dengan seorang pengusaha yang tajir sepertinya dalam keadaan usiaku yang sudah 35 tahun? Come on, Gita! Mimpimu untuk menikah dan menemukan pasangan yang sempurna sudah terwujud. Cita-citamu untuk resign dari bank dan menjadi ibu rumah tangga sembari membantu suami untuk berbisnis pun sekarang sudah kau rengkuh. Apalagi? Masa hanya gara-gara lingerie, kamu lupa untuk mensyukuri nikmat besar ini?
Kami tiba di sebuah resto yang menjual kuliner khas Jawa. Mas Haris memang selalu mengajak makan di sini sejak pertama kali kami bertemu setelah tiga hari chatting di aplikasi kencan. Pertemuan yang tak bakal kulupakan seumur hidup! Tak kusangka orang asing yang jarak usianya hanya lebih tua sebulan dariku itu langsung bisa klop dan bahkan tak lama kemudian mengajak untuk menikah. Padahal, selama ini aku kerap dekat bahkan sampai pacaran dengan beberapa pria, baik rekan kerja sendiri, teman sekolah, maupun berjumpa lewat dunia maya. Namun, semuanya zonk. Gagal lagi dan lagi. Aku sampai putus asa dan berpikir tak bakal menikah sampai kapan pun. Ternyata, Tuhan punya kehendak lain. Jodohku adalah Mas Haris yang rupanya tengah sibuk membangun bisnis selama beberapa tahun ke belakang. Saat dia semakin sukses dan mapan secara finansial, barulah kami dipertemukan dan kemudian dipersatukan. Ya, kupikir itulah hikmahnya.
Setelah memesan beberapa menu, Mas Haris yang duduk di sampingku, mengeluarkan ponsel miliknya. Aku yang awalnya setengah melamun tetapi tetap menatap ke arah ponselnya, tiba-tiba membelalakkan mata besar-besar. Aku terkejut luar biasa. Syok. Terpampang jelas foto Fitri setengah badan yang mengenakan bikini one peace warna orange tengah menopang dagu di tepi kolam berenang, dijadikan Mas Haris sebagai wallpaper di dalam ponselnya. Demi Tuhan, kemarin foto pernikahan kamilah yang ada di sana. Namun, mengapa Mas Haris menggantinya dengan gambar Fitri? Terlebih, pakaian gadis itu sangat terbuka dan … seksi.
Mas Haris, kamu sebenarnya menyimpan rahasia apa?
“Mas, kenapa foto Fitri yang kamu jadikan wallpaper?” Aku bertanya dengan nada yang agak tinggi. Belum hilang degup keras di jantungku, kini mataku giliran yang mulai bereaksi. Terasa berbayang kini aku memandang sebab air mata yang mau luruh jatuh membasahi pipi.
“Lho, memangnya kenapa, Git? Fitri kan adikku.” Mas Haris menjawab dengan santai. Lelaki itu kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap ke arahku dengan wajah heran.
“Kamu kenapa menangis?” Suara Mas Haris sangat lembut. Tangannya yang panjang dan besar mengusap air mata ini dengan gerakan pelan.
“Kamu … sebenarnya ada apa dengan Fitri?” Bibirku gemetar saat menanyakan kalimat barusan padanya. Wajah Mas Haris langsung berubah. Tangan berbulunya yang tadi hinggap di pipi, cepat-cepat dia tarik kembali.
“Apa maksudmu?” Nada Mas Haris dingin. Terdengar nada keberatan dari pertanyaannya. Aku seketika merasa ketakutan. Takut dia marah dan melakukan hal yang tak kuinginkan.
“T-tidak ….”
“Dia adikku. Perempuan paling penting nomor dua setelah Mama. Apa aku salah menyayangi adikku sendiri?” Nada Mas Haris makin naik. Seketika membuatku panik luar biasa dan semakin menangis. Aku sudah tak tahu, berapa pasang mata yang menoleh ke arah kami sebab keributan ini.
“M-maaf, Mas,” kataku sembari meraih tangannya. Kuakui aku tak memiliki kekuatan untuk bertanya lebih. Aku langsung menyesal. Mengapa harus kukatakan pertanyaan seperti tadi. Akankah Mas Haris marah besar padaku setelah ini?
“Apa kamu cemburu, Gita?” Suara Mas Haris mulai merendah. Hatiku langsung sedikit lega. Sungguh, aku tak ingin suamiku marah. Bukan apa-apa. Dia baik. Belum tentu aku bisa menemukan yang sepertinya jika dia memilih untuk pergi meninggalkanku.
“S-sedikit, Mas.” Aku menunduk. Mengusap air mata dan mencoba untuk menenangkan diri. Ya, mungkin aku sudah salah cemburu pada ipar sendiri. Dia adalah adik kandung suamiku. Mana mungkin mereka memiliki hubungan spesial lebih dari sekadar saudara kandung. Pikiranku memang kotor. Aku benar-benar sangat menyesal.
“Gita, dia adikku. Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak. Dia cuma punya aku setelah Mama meninggal. Papa dingin dan tidak dekat padanya. Apakah aku salah kalau perhatian dan sayang pada adikku sendiri?” Mas Haris menggenggam tanganku. Lelaki berbulu mata lebat dan alis yang setali tiga uang tersebut menatapku lekat-lekat. Seketika aku merasa sangat malu sekaligus menyesal. Dasar aku yang bodoh. Mengapa bisa aku berpikir sejauh itu?
Tak lama, menu yang kami pesan berupa rawon, selat solo, dan dua gelas jus apel tersebut datang. Aku buru-buru menyambar sehelai tisu dan mengusap cairan hidung yang mulai mau meluber.
“Terima kasih, Mas,” kata Mas Haris kepada pramusaji yang mengantarkan makanan.
“Sama-sama, Pak.” Pramusaji bertubuh tinggi kurus itu lalu berlalu sembari membawa nampannya. Untung lelaki itu tak melirik-lirik ke arahku yang baru saja habis menangis ini. Kalau tidak, bertambah-tambah lah rasa maluku.
“Makanlah, Git.” Mas Haris merangkul tubuhku. Lelaki itu tersenyum sangat manis hingga menampakkan kedua lesung pipit yang dalam. Dia tampan menurutku. Bahkan sangat tampan. Aku beruntung bisa memilikinya. Padahal, dengan uang yang banyak dan rupa menawan, bisa saja Mas Haris menikahi gadis belia belasan tahun ketimbang perawan tua sepertiku. Maka dari itu aku harus banyak bersyukur dan berhenti untuk berpikiran buruk kepadanya.
“Iya, Mas,” jawabku sembari menyuap selat solo yang kupesan tadi.
“Kamu jangan berpikir yang bukan-bukan lagi ya, Sayang.” Mas Haris mengusap-usap rambutku.
Aku hanya bisa mengangguk sembari mengulas sebuah senyum kepadanya.
“Sayangi Fitri seperti adikmu sendiri, Gita. Kasihan dia. Tolong jalin terus keakraban dengannya.” Kata-kata Mas Haris membuatku jadi agak tersudut. Aku selalu berusaha untuk dekat padanya, tapi bagaimana kalau si Fitri sendiri yang tampak menjaga jarak denganku? Tiap kuajak jalan berdua, dia selalu saja ada alasan. Kalau diajak jalan bertiga pun, jarang-jarang dia mau. Namun, lain cerita kalau hanya berdua dengan Mas Haris. Pasti gerakannya selalu cepat.
“Baik, Sayang,” jawabku sekenanya.
“Makasih ya, Gita. Aku tahu kamu istri yang baik.” Mas Haris tanpa malu-malu mendaratkan sebuah ciuman di puncak kepalaku. Padahal, di sekitar kami banyak sekali pengunjung resto yang tengah menikmati makanan di meja-meja persegi yang mereka tempati.
Ponsel Mas Haris yang tergeletak di atas meja, tiba-tiba mengeluarkan dering. Aku langsung menoleh menatap ke arah layarnya. Ada sebuah panggilan dari kontak bernama ‘My Sweety’. Ya, itu adalah Fitri. Bahkan nama kontak untuk nomornya lebih manis ketimbang kontakku yang diberi nama ‘Istri’ oleh Mas Haris. Seketika nafsu makanku pun lenyap. Pisau dan garpu yang berada di tanganku langsung kuletakkan di atas selat solo yang bahkan belum habis separuhnya.
“Halo, Sayang,” kata Mas Haris saat mengangkat telepon dari adik kesayangannya. Kulihat wajah Mas Haris begitu berseri-seri. Dia tak henti tersenyum meski hanya berbicara jarak jauh dengan si Fitri.
“Mas lagi di mal sama Mbak Gita. Kenapa, Fit?” tanya Mas Haris dengan nada yang sangat lembut.
“Jemput? Kamu di mana memangnya?” Aku cuma bisa menahan jengkel saat diam-diam mendapati wajah Mas Haris yang semakin berseri-seri. Wajar kan kalau aku makin menaruh curiga kalau suamiku sikapnya terus-terusan begini?
“Oh, di rumah Mega. Oke, Mas jemput, ya. Bentar tapi. Mas baru aja makan.” Mas Haris terdiam sesaat. Seperti sedang mendengarkan khotbah panjang dari adiknya.
“Lho, ya berdua lah jemputnya. Sama Mbak Gita juga. Masa Mbak Gita ditinggalin.”
Aku menelan liur. Apa kan kubilang! Bahkan dia hanya mau dijemput oleh Mas Haris tok! Apa salahku memangnya? Mengapa dia tidak mau semobil denganku?
“Oke, oke. Jangan ngambek dong, Sayang. Iya, tunggu, ya. Mas ke sana. Sendirian.”
Tercengang aku mendengar kalimat Mas Haris. Lelaki itu … tega-teganya dia lebih mementingkan adiknya ketimbang aku sebagai istri yang kini mendampinginya. Lantas, dia akan pergi tanpa diriku?
Deg-degan sekali aku menunggu Mas Haris mematikan ponsel. Akhirnya lelaki itu melepaskan alat komunikasi selulernya juga. Tak enak hati dia menoleh ke arahku. Wajahnya seperti tengah menyimpan beban.
“Git, aku jemput Fitri dulu, ya?”
“Terus, aku sendirian di sini, Mas?” Dadaku langsung sesak. Air mataku rasanya mau tumpah lagi.
“Iya. Kamu di sini dulu. Atau, mau kuantar pulang sekalian?” Mas Haris terlihat bingung. Nada bicaranya begitu gamang.
“Kamu nggak lihat, makananku bahkan baru kesentuh dua tiga suap.” Kali ini aku benar-benar tak kuat untuk menahan desakan air mata. Aku menangis lagi. Sekarang lebih pilu dari yang tadi.
“Gita, please, ngertiin posisiku. Aku nggak mau Fitri ngambek. Dia nanti bakal nggak mau makan dan ngurung diri di kamar.”
Terus, bagaimana dengan perasaanku? Apa itu sama sekali tidak penting untuk Mas Haris?
“Aku ikut,” kataku sembari menghapus air mata dan memakai tas selempang warna beige milikku.
“Jangan, Gita. Kamu kuantar saja sampai rumah, setelah itu aku jemput Gita.” Mas Haris menahan lenganku.
“Memangnya ada masalah apa kalau aku ikut kalian, Mas?”
Mas Haris terdiam. Lelaki itu seolah tak berdaya. Aku tak suka dengan pertengkaran. Namun, kalau sudah begini, masa aku hanya diam saja terus menerus?
“Oke. Kalau terjadi apa-apa dengan Fitri, kamu tidak bakal bisa kumaafkan.”
Mas Haris bangkit dari duduknya. Pergi meninggalkanku untuk menuju meja kasir yang berada di depan.
Aku benar-benar sesak. Kuhapus air mata ini sembari menyambar belanjaan yang kuletakkan di kursi depan yang menghadap ke arahku. Ingin rasanya kulemparkan lingerie ini sekalian ke muka Fitri. Aku kesal dengan anak itu hari ini. Benar-benar sangat kesal. Tuhan, tolong tunjukkan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi di antara Mas Haris dan adik iparku tersebut.
Download Fizzo dan baca ratusan novel GRATIS!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar