Jumat, 15 Oktober 2021

Testimoni Prof. Dr. Djoko Saryono

Sastra daerah masih hidup? Sastra daerah masih berdegup. Bahagia saya, saat acara pertemuan komunitas literasi Jawa Timur, dapat bersua Zainal Abidin Hanafi yang sedaerah Royyan Julian, kemudian memberi hadiah novela Madura berjudul Bajing Tana. Saya juga bertemu Emi Sudarwati yang lalu menghadiahi kumpulan cerpen Jawa berjudul Lilani Aku Dadi Srengenge. Kedua buku ini menandakan sastra Madura dan Jawa masih berdegup, masih dipertahankan oleh penulis dan pembacanya.

Bisa dibilang dua buku ini menyiratkan satu cercah harapan. Kenapa? Pertama, buku ini ditulis oleh orang muda yang masih mampu dan mau mencebur dalam sastra daerahnya. Zainal A Abidin adalah sastrawan Madura yang masih muda dan lumayan mengkhidmati sastra daerah. Dia lumayan suntuk menulis sastra dalam bahasa Madura. Emi Sudarwati merupakan guru sekaligus pengarang Jawa yang produktif dan mampu mengompori murid-muridnya untuk menulis fiksi Jawa. Buku kumcernya ini juga ditulis bersama muridnya -- kaum belia yang sanggup menulis cerpen Jawa.

Kedua, dua buku ini mencoba mengadaptasi atau mencangkokkan genre sastra modern ke dalam sastra Madura dan Jawa. Bisa disebut juga dua buku ini menggambarkan usaha menemukan strategi untuk menghidupkan sastra Madura dan Jawa. Buku Bajing Tana dan Lilani Aku Dadi Srengenge mencoba menjadikan bentuk fiksi (novela dan cerpen) beserta strukturnya untuk mengungkapkan persoalan keseharian di dalam kehidupan masyarakat lokal dalam bahasa daerah masing-masing. Bajing Tana bisa dikatakan sebagai novela berbahasa Madura dengan persoalan lokal di hadapan kehidupan yang sedang berubah. Malah kumcer Lilani Aku Dadi Srengenge, yang metaforis, mengungkapkan kehidupan modern anak-anak muda masa kini dalam bahasa Jawa. Eloknya, selain Emi, para penulis cerpen adalah murid-muridnya Emi yang masih belia. Mereka rata-rata lumayan fasih menuliskan peristiwa keseharian yang dekat dengan mereka dalam bentuk cerpen dan bahasa Jawa.

Yang diperlukan agar pengarang sastra daerah tetap bertahan eksis -- terutama agar Zainal dan Emi beserta kamu belia belasan tahun yang mau menulis sastra daerah -- adalah ekosistem kepengarangan sastra daerah yang nyaman dan menyemangati mereka. Bukan hanya pemerintah, tapi juga pembaca dan jaringan peredaran sastra daerah. Pembinaan pemerintah memang diperlukan, tapi sehatnya komunitas literasi khususnya komunitas sastra daerah dibutuhkan. Bukankah begitu Amyn Chusen, Anjrah Lelono Broto, Bonari Nabonenar, Rini Tri Puspohardini, dan NonoWarnono? 

#nggamblehpagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar