Jumat, 28 Januari 2022

Menerapkan Disiplin Positif

Keren sekali tulisan ini, by @Suhud Rois
Menerapkan Disiplin Positif (Bagian 2)
Belasan tahun saya mengajar, ada banyak hal yang membuat saya begitu terpukau dengan dunia tersebut. Salah satunya adalah bagaimana kita menertibkan (baca: mengajarkan berlaku tertib) murid. Peraturan adalah sarana yang dipandang efektif dan paling sederhana untuk mencapai tujuan tersebut.

Ketika masuk ke sebuah kelas di suatu sekolah, saya menemukan ada 36 butir peraturan berikut konsekuensi. Menurut saya, ini aneh. Bagi saya semakin banyak peraturan berarti semakin lucu diri kita ini. Misalnya begini, di kelas kita bikin peraturan dengan lima belas poin larangan. Suatu ketika ada murid yang melakukan sebuah tindakan tidak patut (indispliner) yang belum tercover dalam peraturan yang dibuat, apakah murid tersebut dinyatakan melanggar peraturan? Peraturan mana yang dilanggar? Kan tidak ada dalam poin-poin peraturan yang dibuat. Apakah kemudian kita akan menambahkan poin baru? Itu berarti kita tidak antisipatif.

Peraturan di mana-mana pasti disertai sanksi. Peraturan pasti bersifat membatasi. Di satu sisi, dunia anak adalah tempat yang begitu dinamis. Murid butuh banyak mencoba dan bereksplorasi. Peraturan yang ketat dengan ancaman sanksi akan membatasi ruang gerak mereka. Bisa jadi murid takut dengan sanksinya. Ingatkah bahwa pendidikan itu tujuannya mengembangkan murid? Kok ternyata kita sendiri yang membatasi murid untuk berkembang?

Inilah tantangannya, bagaimana membiasakan murid berlaku sesuai norma dan nilai kesantunan tanpa terkekang kebebasan ekspresi dan eksplorasinya. Itu yang pertama. Kedua, bagaimana membuat sebuah peraturan yang bisa melatih keterampilan berpikir. Kebanyakan peraturan dibuat dalam kalimat yang tegas. Maksudnya tidak untuk ditafsirkan. Tidak ada kesempatan melatih murid berpikir.

Ketiga, bagaimana membuat peraturan yang sederhana, mudah dipahami dan diterima, tapi mampu meng-cover semua perilaku yang tidak diharapkan

Setiap awal tahun ajaran, saat pertama kali masuk kelas, saya ajak murid-murid menyebutkan peraturan di kelas. Saya tulis semua usulan mereka. Setelah tidak ada lagi yang memberi pendapat, saya bacakan peraturan yang akan berlaku.

“Wow, ternyata banyak, ya,” komentar saya. Lalu saya kasih contoh perbuatan yang tidak semestinya dilakukan, tapi belum ada peraturan yang melarangnya.

“Bagaimana kalau ada yang melakukannya?” tanya saya.

“Tambah lagi peraturannya, Pak.” Begitu biasanya jawaban murid-murid.

Saya sebutkan banyak contoh perbuatan yang belum ada aturannya.

“Apakah semuanya akan dimasukkan ke dalam peraturan?” tanya saya. “Memang kalau banyak aturan kalian suka?”

Pada akhirnya saya katakan, “Kalian boleh melakukan apa saja asal tidak merugikan diri sendiri atau orang lain.”

Sudah, cukup itu saja. Pendek, simpel, jelas, dan antisipatif. Di samping itu juga tidak membuat murid takut. Justru mereka merasa aman dan nyaman. Kan boleh melakukan apa saja.

Tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Itu kuncinya. Kita ajak murid memahami betul kalimat tersebut dengan contoh perbuatan. Akhirnya murid sadar bahwa apa pun yang bersifat merugikan, tidak boleh dilakukan. Apa saja itu? Banyak, dan tentu saja tidak akan cukup untuk menuliskan daftarnya. Dan memang tidak perlu didaftar.

Tentu saja hal ini tidak otomatis membuat anak jadi tertib seratus persen. Justru ketika mereka melakukan tindakan yang merugikan, itulah saatnya menyadarkan dan membelajarkan bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Ketika hal itu terjadi, anak distimulasi untuk menilai apakah perbuatannya merugikan. Merugikan siapa? Apa kerugiannya? Harusnya bagaimana? Terus, apa yang akan dilakukan selanjutnya?

Misalnya ada murid yang berkata dengan suara keras. Murid tersebut tidak langsung saya tegur, tetapi saya nyatakan apa yang saya lihat atau dengar. Saya akan katakan begini, “Pak Suhud dengar kamu tadi berkata keras. Apakah benar seperti itu?”

Murid tidak disalahkan, tapi dimintai konfirmasi. Saya cukup mengatakan faktanya saja dulu. Setelah itu barulah saya sampaikan apa yang saya rasakan. “Pak Suhud kecewa dan tidak suka kamu berteriak ketika berbicara.”

Kemudian saya ajak murid tersebut memikirkan akibat dari perbuatannya. “Menurut kamu, ketika kamu tadi berteriak, ada yang terganggu enggak?”

Pada saat inilah saya punya kesempatan untuk mengajak dia berpikir dan menyadari perbuatan dan akibatnya, terutama bagi orang lain. Biasanya akibat sebuah perbuatan diibaratkan bola salju yang menggelinding. Artinya tidak hanya merugikan satu orang saja, tetapi banyak orang yag dirugikan.

Apa pun perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang merugikan dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, murid belajar berempati. Tindakannya bisa saja merugikan orang lain, dan dirugikan itu tidak enak.
Di samping itu, anak juga terbiasa melakukan introspeksi. Anak dilatih menemukan dan menyadari kesalahan tanpa dipersalahkan. Hal ini membuat harga diri anak terjaga, yang ujungnya akan membuat anak kian nyaman di kelas.

Membiasakan disiplin positif, tidak bisa dilakukan di sekolah saja. Sekolah dan rumah harus selaras. Menitipkan anak adalah kata yang sering terucap saat orang tua memasukkan anaknya ke sebuah sekolah. Apa artinya? Artinya orang tua menyerahkan sepenuhnya proses pendidika. anak ke sekolah. Sekolah (kebanyakan) menerima amanah (titipan) tersebut. Seperti itu, bukan?

Nah, sekolah tempat saya mengajar, tidak demikian. Kami tidak mau ada orang tua yang menitipkan anaknya ke sekolah. Bagaimana pun juga, orang tua adalah pihak yang memikul tanggung jawab besar atas proses tumbuh kembang anak.
Kami merasa perlu mendapatkan banyak informasi tentang anak. Informasi yang diperlukan bisa didapat dari secara langsung dari murid yang bersangkutan. Caranya dengan mengobrol secara santai ketika murid tersebut sedang bagus kondisi emosinya. Bukan setelah melakukan kesalahan.

Informasi juga dikorek dari orang tua. Setiap pembagian rapor (per tiga bulan) orang tua setiap murid punya waktu khusus untuk berbicara dengan guru kelasnya. Kalau butuh info lebih cepat, biasanya guru menghubungi orang tua via telepon atau mengundang untuk datang ke sekolah.

Informasi lain yang sangat penting adalah profil psikologis anak. Ini didapatkan dari psikolog.

Ketika semua informasi sudah didapatkan, guru membuat rencana tindakan yang sesuai dengan memahami segala masalah dan kebutuhan murid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar